Rabu, 10 Mei 2023

MENUTUPI DOSA DAN KESALAHAN DENGAN MENCARI-CARI KESALAHAN ORANG LAIN




MENUTUPI DOSA DAN KESALAHAN DENGAN MENCARI-CARI KESALAHAN ORANG LAIN

Apakah hal ini hanya dilakukan oleh orang yeng belum percaya? atau Adakah Orang Kristen yang mengaku percaya kepada Kristus melakukan hal ini? 
simak penjelasannya berikut ini:



Karena sifat alaminya yang telah dikuasai dosa, dan disebabkan oleh belum terjadi pemulihan gambar diri serta perubahan pikiran atau akal budi oleh kuasa Tuhan dan firman-Nya, maka manusia tidak lebih daripada orang-orang berdosa yang cenderung melakukan hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan, suka mementingkan diri sendiri dan selalu memandang dirinya lebih baik dibanding orang lain. Mereka sering merasa sebagai orang yang tidak berdosa (walaupun mereka tahu sedang berbuat dosa), merasa tidak bersalah dengan apa yang dilakukannya dan ketika mereka mulai menyadari bahwa sebenarnya mereka keliru, maka mulailah mereka mencari-cari kesalahan orang lain untuk menutupi kesalahan dan kekeliruannya. 

Ingat kisah masa kecil kita saat ketahuan bersalah di hadapan orangtua?
Biasanya kita akan menunjuk orang lain untuk menutupi kesalahan kita. Entah itu adik atau kakak kita, intinya kita tidak mau disalahkan.
Kisah tersebut rupanya tidak berhenti di situ. Ketika dewasa, kita juga masih cenderung melakukan hal yang sama. Walau tidak serta merta menunjuk orang lain, namun kita memiliki tendensi untuk tidak mengakui kesalahan kita sendiri. Ya, kan?
Kejadian saling menyalahkan dan sulit mengakui kesalahanan mungkin bisa kita alami di mana pun. Baik di rumah, di tempat kerja, bahkan dalam pergaulan.
Mengapa demikian ? ini semua karena dosa manusia yang diwarisi dari Adam dan Hawa (Natur dosa).

Dalam kitab Kejadian pasal 3, ketika Allah bertanya kepada Adam tentang apa yang sudah dilakukannya, Adam menuduh Hawa yang bersalah atas peristiwa pelanggaran perintah Tuhan yang melarang makan pohon pengetahuan baik dan jahat. Tidak mengejutkan ketika Hawa pun ikut mempersalahkan ular sebagai yang bertanggung jawab atas pelanggarannya.
Inilah gambaran manusia saat ini yang sudah jatuh kedalam dosa atau mewarisi dosa Adam dan Hawa. Mereka suka membenarkan diri dan mudah menyalahkan orang lain.
Dalam hidupnya, mereka tidak mau dihakimi oleh Tuhan atau sesamanya tetapi justru menempatkan dirinya sebagai hakim atas segala sesuatu. Atas dirinya, atas orang lain. Bahkan terhadap Tuhan!

Pernahkah Anda melihat orang yang merasa dirinya benar dan semua orang lain yang salah? Pasti pernah kan?  Atau jangan-jangan kita sendiri orangnya………….
Orang-orang seperti ini, selalu memandang dirinya bersih, selalu benar, lebih baik, lebih rohani dan selalu merasa disayang dan dibela Tuhan. Benarkah demikian ? (itu perasaan mereka saja)

Kita melihat contoh dalam Perumpamaan Tuhan Yesus tentang Orang Farisi yang berdoa bersama dengan seorang pemungut cukai. Dalam perumpamaan ini, Yesus menggambarkan secara sempurna tentang pola pikir orang yang suka membenarkan dirinya sendiri:

“Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (Lukas 18:11-12)

Orang Farisi itu sedang berdoa. Dan dari luar ia tampak seperti orang yang sangat rohani dan menghormati Tuhan. Isi doanya pun ada ucapan syukur. Tetapi bukannya menyembah dan meninggikan Tuhan, mengaku dosa, dia malah memuji dan membanggakan dirinya sendiri. Merasa dirinya sebagai pribadi yang sudah baik, bahkan sangat baik. Ia merasa tidak sama dengan orang berdosa. Ia merasa suci. 
Tetapi pada sisi lain, ia memandang rendah semua orang lain bahkan menganggap mereka sebagai orang berdosa

Apakah Tuhan memberikan Pujian kepada orang Farisi tersebut? Tidak, karena Tuhan tidak senang dengan orang yang sombong Rohani.

Perumpamaan ini memberikan gambaran kehidupan orang percaya saat ini, yakni mereka yang datang kepada Tuhan dalam ibadah dan berkata dalam hatinya, seperti ini:

“Aku sudah datang ke gereja. Aku sudah melakukan tugas pelayanan hari Minggu ini. Aku sudah memberikan persembahan yang besar. Puji-pujian dan doa sudah kupanjatkan dengan sekuat tenaga dihadapan Tuhan. Pastilah Tuhan senang dan berkenan kepadaku”

Saya yakin sekali kalau kita datang beribadah seperti itu, dengan motivasi yang tidak benar, maka ibadah kita sia-sia dan tidak berarti sama sekali dihadapan Tuhan. Kita tidak lebih dari orang-orang yang angkuh dan sok pamer di hadapan Tuhan. Dan tidak mengerti ibadah yang sejati dihadapan Tuhan
Bukankah Tuhan mencari persembahan hidup daripada persembahan ritual yang sekedar formalitas yang hanya tampak benar secara liturgi dan prosedur semata ?
Bagaimana mungkin seorang yang mengaku beribadah dan menyembah Tuhan tapi justru menyombongkan diri sendiri dan selau merasa benar, mempersalahkan orang lain dan tidak mau intropeksi diri?
Saya jadi kembali bertanya-tanya dalam hati, Akankah Tuhan menerima ibadah dan penyembahan dengan hati yang demikian?


Saudaraku!
Orang yang hebat bukanlah mereka yang bisa dan biasa melihat kesalahan orang lain, tapi mereka yang bisa melihat kesalahannya sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Oleh karena itu, jangan membiasakan diri dengan terus menerus melihat kesalahan orang lain, tetapi menjadi pandailah dengan menyadari kesalahan diri sendiri dengan terus melakukan introspeksi diri pada saat kita seorang diri.

Mencari-cari kesalahan untuk menutupi dan menyembunyikan dosa dan tidak akan membuat kita jadi lebih baik, tetapi justru menjadikan kita semakin jatuh lebih dalam lagi dalam dosa. Ketahuilah bahwa dosa yang disimpan atau di sembunyikan dari orang lain adalah sama bersalahnya dengan melakukan dosa itu sendiri. Janganlah kita berpikir bahwa dosa yang tersembunyi adalah dosa yang tidak serius daripada dosa yang terlihat.
Ada sebuah cerita yang katanya benar pernah terjadi di  Amerika. Ada seorang ibu yang mempunyai kolam yang dekat danau yang biasa ia pakai untuk memelihara ikan. Suatu hari ia menemukan seekor anak buaya alligator. Bertahun-tahun ia memelihara buaya ini walaupun tetangga dan banyak orang menasihatinya agar tidak membesar buaya ini. Tapi ia menolak karena buaya alligator ini jinak dan nurut sekali jika ia panggil. Tetapi, pada suatu hari buaya ini menyerang dia. 
Dia kaget luar biasa. 
Untuk keamanan dirinya dan lingkungan sekitarnya pihak polisi setempat menembak mati buaya itu. 
Mengapa buaya ini menyerang ibu tersebut? 
Ternyata buaya alligator mempunyai sifat ia akan menyerang orang yang sudah dikenalnya. Buaya ini menyerang ketika ia mulai tidak merasa takut dengan manusia. Dengan membiarkan alligator itu tinggal di kolam secara tidak sadar ia memberi kesempatan pada buaya itu untuk menyerangnya.

Dosa juga seperti itu. Sangat berbahaya jika dibiarkan terus ada dalam diri kita. Dosa itu akan segera menjadi malapetaka bagi diri kita.
Itulah sebabnya kita tidak boleh menyimpan dosa dalam hati kita. Dosa dapat juga diibaratkan seperti api dalam sekam. Lebih baik dipadamkan sebelum menjadi api yang besar yang akan membakar dan menghancurkan kehidupan kita.

Hanyalah orang bodoh yang berpikir bahwa dia dapat mengurangi dosa dengan menyembunyikannya. Dan lebih bodoh lagi jika kita mengatakan pada diri kita bahwa kita lebih baik dari yang lain karena kita berdosa dan hanya kita yang tahu, dibandingkan dosa orang lain yang diketahui oleh semua orang. Dan yang paling bodoh sekali adalah jika kita meyakinkan diri bahwa kita dapat lari dari dosa dengan menyembunyikannya dari hadapan orang. “Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung” (Amsal 28:13)
Semua dosa sama dihadapan Allah, baik dilakukan di muka umum atau diam-diam. Dan Allah dapat melihat dosa kita dengan jelas, tidak peduli seberapa pintar kita menutupinya.

Orang Farisi adalah orang-orang yang suka pamer, selalu ingin dihargai dan dihormati, suka sekali mencari kesalahan orang lain, tetapi mereka sendiri tidak pernah mengakui dan menyadari kesalahan, kelemahan dan dosa-dosa mereka. Oleh karena itu Tuhan sangat mengecam perbuatan mereka (Matius 23:1-26).

Mereka yang selalu suka mencari kelemahan dan kesalahan orang lain merupakan gambaran dari isi dan perasaan hati seseorang yang sebenarnya diselubungi oleh sifat dengki dan kebencian. Sifat dan sikap seperti ini pada dasarnya untuk menutupi kekurangan diri sendiri. Biasanya karena takut dipermalukan, disisikan, disaingi atau takut dikalahkan orang lain. Orang seperti ini biasanya akan berusaha sedapat mungkin menutupi perilakunya yang buruk tersebut dengan menjadi, pura-pura beribadah, pura-pura rohani, melibatkan dan mengaktifkan diri dalam pelayanan supaya kelihatan orang rohani. Semuanya dilakukan dengan penuh kepura-puraan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh (sungguh-sungguh dalam berpura-pura) 

Sebelum kita mencari-cari kesalahan orang lain yang memang pasti ada. Sebaiknya kita menyadari dan bertanya kepada diri sendiri, apakah saya juga tidak memi­liki kekurangan, kesalahan atau dosa-dosa? Jangan-jangan kesalahan, kelemahan dan dosa kita jauh lebih besar dari orang lain! Apalagi kalau memang kita tahu/ sadar bahwa kita bersalah dan sedang menutupi suatu kesalahan, pelanggaran, aib dan atau dosa yang sangat memalukan. Ibarat telunjuk kita, jika menunjuk ke arah orang lain, maka pada saat yang sama kita harus me­nyadari bahwa masih ada jari-jari yang lain menunjuk ke arah diri kita

Selain mencari-cari kesalahan, Orang Farisi juga selalu menganggap dirinya lebih baik, paling benar, pamer kesucian dan selalu merasa lebih istimewa dibandingkan yang lain. Mereka merasa tidak pernah salah. Mereka selalu meremehkan orang lain. Mereka menganggap bahwa kerohanian orang lain tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan mereka.

Memang mengejar kebenaran, kesucian atau menjadi orang benar harus dilakukan oleh setiap orang. Bahkan hal tersebut justru dianjurkan oleh Tuhan. Tapi masalahnya, apabila kita selalu menganggap diri benar, menganggap diri sendirilah yang paling suci, tidak pernah salah, tidak pernah berdosa, lalu menjadikan hal tersebut sebagai alat untuk menghakimi bahwa orang lain selalu salah, selalu tidak benar. Sombong sekali. 
Sungguh.. terrr….laaa…..luuu…. (kata bang haji)

Jika Mentalitas Farisi semacam ini sampai melanda persekutuan gereja, tentu tidak mungkin ada persekutuan yang baik, tidak mungkin adanya saling mengasihi. Yang ada tentulah saling membenarkan diri, saling menyalahkan, saling merasa berharga, dan seterusnya...dan akhirnya kita akan menjadi orang-orang yang munafik dalam pandangan Tuhan. Yesus berkata bahwa kemunafikan sebagai “ragi orang Farisi” (Lukas 21:1). Artinya kemunafikan merupakan bagian dari Mentalitas Orang Farisi

Allah geram dengan orang yang gemar memberikan cap yang buruk pada orang lain berdasarkan apa yang benar menurut pandangannya sendiri. Karena sikap dan perilaku seperti ini akan membawa kita pada kesalahan yang lain lagi yang dikecam oleh Tuhan, yakni MENGHAKIMI (penghakiman yang salah).

Ingatlah bahwa disaat kita mulai memposisikan diri sebagai hakim atas orang lain dan mulai menghakimi berdasarkan dugaan semata yang belum pasti kebenarannya, maka janganlah terburu-buru mewujudkannya melalui perkataan, tindakan dan perbuatan, karena sesuatu yang berawal dari dugaan (belum pasti kebenaranya), masih membutuhkan penelitian dan penelaahan lebih jauh. Supaya kita tidak dicap sebagai orang yang suka menghakimi dan menuduh dengan sembarangan (tanpa bukti)

Orang yang suka menghakimi adalah mereka yang:
• Berusaha mencari-cari kesalahan orang lain untuk menjatuhkannya.
• Memberikan cap pada seseorang padahal orang itu tidaklah seperti itu.
• Menyalahkan atau menuduh seseorang sebelum tahu persoalan yang sebenarnya
• Menganggap diri selalu benar sedangkan orang lain selalu salah.


Saudaraku!
Ketika kita dikuasai oleh kebencian, maka sikap, kesalahan dan tabiat buruk orang lain akan nampak jelas dalam pandangan kita, padahal tanpa kita sadari, sebenarnya kita memiliki keburukan yang sama, bahkan mungkin lebih parah atau lebih buruk dari dari mereka. 

Ingaa... ingaa… Kalau kita mulai fokus pada kesalahan orang lain, berhentilah sejenak dan ujilah diri sendiri. Jangan-jangan kita sedang menutupi kesalahan kita sendiri. Dengan menguji diri sendiri, kita termotivasi untuk memaafkan kesalahan orang lain dan tetap mengasihinya.
Salah satu ucapan terkenal dari Bunda Teresa ialah, “Ketika Anda menghakimi orang lain, Anda tidak mempunyai waktu untuk mengasihinya.”

Saya teringat dengan suatu peribahasa, yakni “Kuman diseberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”.
Hal ini sebenarnya sudah disampaikan oleh Tuhan Yesus ribuan tahun yang lalu ketika Ia berkata, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” Matius 7:3

Selumbar dari kata Yunani karfos, serumpun dengan kata kerja karfo 'menjadi kering'. Arti kata benda itu ialah tampuk, tangkai atau ranting yg kecil dan kering, serpihan jerami yg kecil, atau bahkan hanya seperti sehelai rambut (bulu), yg mungkin terbang ke mata.
Secara kiasan kata itu dipakai Yesus untuk mengartikan kesalahan yg kecil atau sesuatu yang tidak mudah terlihat dan sangat gampang luput dan lewat dari pengawasa dan pandangan mata kita.
Dapat diartikan suatu kesalahan yang sangat kecil tetapi tampak seolah sangat kelihatan dan menyolok di depan mata orang yang menghakimi sesamanya. Dan tanpa disadarinya bahwa, ada balok yang menutup matanya. Sesuatu yang besar, mudah sekali terlihat tapi justru terlewatkan dari perhatian dan pandangannya.

Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri adalah Orang Yang selalu Menghakimi Jarang Sekali Berpikir Mengenai Kekurangan Atau Kesalahannya Sendiri. Seperti cerita ilustrasi berikut ini:

Sepasang suami istri muda menempati rumah di sebuah komplek perumahan.
Suatu pagi sambil sarapan, si istri menatap keluar melalui jendela kaca dan melihat tetangganya sedang menjemur baju.
Lalu si Istri berkata kepada suaminya : “lihat Pa… Cuciannya kelihatan kurang bersih ya, Sepertinya dia tidak tahu cara mencuci pakaian dengan benar, mungkin mesin cucinya jelek dan murahan, atau mungkin dia perlu sabun cuci yang lebih bagus.”
Suaminya menoleh, tetapi hanya diam dan tidak memberi komentar apapun.
Sejak hari itu setiap tetangganya menjemur baju, selalu saja si istri memberikan komentar yang sama tentang kurang bersihnya si tetangga mencuci bajunya.
Beberapa hari berlalu…
dipagi yang sama si istri heran melihat pakaian-pakaian yang dijemur tetangganya sudah terlihat bersih cemerlang.
Lalu si istri berkata kepada suaminya : “Lihat Pa… sepertinya dia telah belajar bagaimana cara mencuci dengan benar, pagi ini baju cuciannya telah bersih, mungkin dia melihat hasil cucianku yang bersih”.
Lalu si suami berkata :
“Ma.. Papa bangun lebih pagi hari ini untuk membersihkan jendela kaca kita”.
si isteri terkejut dan sangat malu mendengar jawaban suaminya,
dia malu telah menghina tetangganya selama ini tidak bersih mencuci baju padahal kaca jendelanya yang kotor.

Inilah sebuah realitas kehidupan yang mungkin ada disekitar kita. Pelajaran yang bisa kita ambil dari ilustrasi ini adalah apa yang kita lihat pada saat menilai orang lain tergantung pada kejernihan pikiran kita. Dan hasilnya tergantung dari “jendela” mana kita memandangnya. jika kita melihat melalui kaca jendela yang kotor sudah pasti apa yang kita lihat didepan akan kotor juga.

Saat seseorang terbiasa mencari kesalahan orang namun jarang melakukan introspeksi diri maka bersiap-siaplah karena akan ada suatu dampak fatal yang akan diakibatkannya.

Sadar… sadar… sadar...dan sadarilah bahwa saat pandangan kita terfokus kepada apapun yang lain daripada diri kita atau diluar diri kita, maka kita akan menjadi orang yang kurang waspada akan keadaan diri sendiri (tidak mawas diri).
Jika pikiran dan pandangan kita hanya terfokus untuk mencari-cari kesalahan orang lain, maka pada waktu yang bersamaan akan menjadi sukar bagi kita untuk memperhatikan apa yang sedang kita lakukan atau kesalahan yang mungkin justru sedang kita perbuat.
Terlalu lama memandang ke atas membuat kita tidak bisa melihat lubang besar menganga di bawah kita.
Begitu seriusnya mengamati wajah orang lain, tanpa kita sadari wajah kita sendiri sedang belepotan. Dan lebih parah lagi ketika kita meminta orang tersebut untuk bercermin karena wajahnya belepotan, (karena tidak mau dipersalahkan) mereka selalu berdalih bahwa mereka sudah bercermin dan tidak peduli dengan apa yang ada diwajahnya. (sudah bercermin tapi tidak mau membersihkan kotoran di wajahnya)

Melihat wajah anaknya yang kotor/ belepotan, ibunya berkata, "Bercerminlah, lalu cuci wajahmu." Namun anak itu membantah, "Saya sudah bercermin!" Ibunya kemudian menjawab, "Kamu telah menipu dirimu sendiri!"

Wajahnya yang masih kotor menandakan bahwa jika ia memang sudah bercermin, maka tentulah ia mengabaikan apa yang telah dilihatnya di cermin. 
Ia pasti sudah melihat keadaan dirinya yang sebenarnya, tetapi kotoran di wajahnya tidak dibersihkannya.

Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu." Lukas 6:42

Daripada kita terus menerus menyibukkan dan melelahkan diri kita dengan mengorek-ngorek dan mencari-cari kesalahan dan kelalaian orang lain, yang bisa kita jadikan senjata untuk menyerangnya, bukankah lebih baik kita berpikir positif, sembari menanyakan dengan jujur pada diri kita sendiri, sudah mampukah kita berbuat lebih baik dari orang yang kita kritik atau kita cari-cari kesalahannya?
Ingatlah Firman Tuhan mengatakan bahwa mereka yang menghakimi akan dihakimi oleh Tuhan. Mereka yang mempersalahkan orang karena maksud-maksud hatinya yang jahat akan diperhitungkan pula hingga kesalahannya oleh Tuhan. 

Oleh karena itu, berpikir dulu sebelum berkata-kata. Sebelum semua berakibat fatal. Memang sangat mudah mengatakan hal yang buruk tentang orang lain, tetapi janganlah engkau berharap bahwa dengan memperkatakan, menjelek-jelekkan, atau menggosipkan orang lain bisa membuat anda menjadi lebih terhormat. Jadi, jagalah perkataan anda sebab perkataan bisa menjadi senjata yang paling mematikan untuk merusak hubungan dan juga merusak diri anda sendiri. Seperti cerita berikut ini:

Di sebuah kota kecil, seorang wanita menyebarkan gosip kepada tetangga dan setiap orang yang dijumpainya, bahwa perempuan muda di sebelah rumahnya suka mengganggu suami orang dan bila si lelaki sudah masuk jebakan, habislah semua uang dikurasnya.
Layaknya kabar burung, berita ini cepat menyebar ke penjuru kota. Guna menjaga ketertiban, pejabat sosial dibantu polisi menangkap sang perempuan muda. Setelah melalui pengadilan yang memakan waktu, akhirnya hakim memutuskan tuduhan tersebut tak terbukti. Perempuan muda ini dibebaskan.
Merasa nama baiknya tercemar, perempuan muda ini menuntut balik wanita tua karena menyebarkan berita bohong. Saat melakukan pembelaan, si wanita tua berdalih, "Itu kan hanya omongan. Nggak ada yang disakiti secara fisik, kan?"
Pak hakim pun menjawab, "Baiklah. Sekarang ambil kertas seratus lembar, lalu tulis apa yang dulu kamu katakan. Nanti setelah selesai, kamu pulang dan sebarkan di alun-alun kota. Besok temui saya lagi di sini."
Perempuan muda menjadi marah dengan vonis hakim yang terlalu ringan. Namun hakim menyuruhnya diam. Si wanita tua jadi tertawa karena merasa menang.
"Kalau begitu saja, dengan senang hati saya menerima hukuman," ucap wanita tua sambil bergegas meminta kertas dan menuliskannya. Dalam waktu satu jam, tugasnya selesai. Ia melangkah keluar ruang pengadilan menuju alun-alun, melemparkan tumpukan kertas ke udara.
Keesokan harinya, ia kembali menghadap hakim melaporkan tugasnya sudah selesai.
"Oh belum selesai," sahut pak hakim. "Sekarang kamu keluar dan punguti lagi semua tulisan kamu di kertas yang tersebar kemarin."
"Apa? Perintah yang nggak masuk akal. Mana mungkin saya mendapatkan seratus lembar kertas itu, pasti sudah terbawa angin dan tak tahu lagi di mana semuanya sekarang." Wanita tua itu meradang.
"Bukankah kemarin kamu bilang hanya omongan saat dulu kamu menyebar fitnah tentang perempuan muda ini? Begitulah, apa yang keluar dari mulut juga bisa tersebar ke berbagai tempat tanpa kamu sadari dampaknya. Mungkin, omongan buruk memang tak melukai secara fisik, tapi akibatnya bisa berbahaya."
"Karena itu kuasai mulut kamu, dan bukan mulut yang menguasai kamu. Berpikirlah sebelum bicara."

Dari kisah ini kita diingatkan bahwa menceritakan hal-hal yang buruk tentang orang lain yang belum pasti kebenarannya, akan merusak hubungan dan bisa memecah belah kesatuan dan persatuan.
Kita tidak akan pernah menjadi berkat bagi orang lain jika kita memiliki sikap hati yang jahat ini. Kasih Tuhan tidak akan pernah tersalurkan saat kita lebih suka memusatkan diri untuk menuntut dan mendakwa orang lain karena kesalahan-kesalahan mereka.

BERTOBATLAH SEBELUM TERLAMBAT! 
Tuhan selalu memberikan kesempatan pada kita setiap saat untuk bertobat dan memulai hidup yang baru. HIDUP DALAM PERTOBATAN. Dengan demikian dapat mengubah perilaku dan cara pandang kita tentang orang lain. 
Pandanganlah orang lain sebagaimana Kristus memandang mereka. 
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Bahkan kita diajarkan bukan hanya mengasihi musuh kita saja tetapi juga harus berdoa dan memberkati mereka.
Hiduplah dalam kasih supaya tidak ada kebencian.


Saya mengakhiri tulisan saya ini dengan kalimat bijak berikut ini:
Jika HATI kita bersih, maka bersih pula PIKIRAN kita.
Jika PIKIRAN kita bersih, maka bersih pula PERKATAAN kita.
Jika PERKATAAN kita bersih, maka bersih pula PERBUATAN kita.

Hati, pikiran, perkataan dan perbuatan kita mencerminkan hidup kita.

Ferdy Manggaribet, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar